Rabu, 30 November 2011

review buku

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar belakang
“ Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia” adalah buku yang ditulis dalam bahasa Indonesia oleh penulisnya sendiri yang diterbitkan melalui kencana Prenada Media Group,2004 edisi revisi dari buku aslinya yang  berjudul  The Transmission of Islamic Reformism to Indoesia: Networks of Middle Eastern and Malay-Indonesian 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries”, yang  merupakan disertasi saudara Azyumardi Azra.Disertasi ini diajukan kepada Departemen Sejarah, Columbia University, New York, pada akhir tahun 1992, guna memperoleh gelar Ph.D. Dalam penelitiannya, Dr. Azyumardi Azra telah menghabiskan waktu yang cukup lama, yakni lebih dari dua tahun. Guna mendapatkan data-data yang akurat, peneliti telah melakukan kunjungan ke berbagai daerah, seperti Banda Aceh, Jakarta, Yogyakarta, Ujung Pandang, New York City, Kairo, Madinah, Makkah, Leiden dan Ithaca (New York State), sebagai daerah-daerah yang dianggap memilki keterkaitan baik secara langsung maupun tidak, dengan tema penelitian yang sedang dilakukannya.
B.   Pembatasan Ruang Lingkup Pembahasan Dan Istilah Kunci.
Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Azyumardi Azra ini adalah penelitian terhadap “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantar Abad XVII dan XVIII”. Dengan demikian penelitian ini terbatas pada peranan jaringan ulama dalam transmisi gagasan-gagasan pembaruan ke Nusantara serta melacak terhadap sumber-sumber pembaharuan awal dalam sejarah Islam di Nusantara. (P.19). Secara lebih spesifik, penelitian ini juga akan lebih ditekankan pada penelitian terhadap aspek “kandungan intelektualnya”.
Penelitian ini dibatasi terhadap ulama-ulama yang berasal dari kepulauan Nusantara, walaupun sebelumnya akan menyampaikan beberapa kaitan jaringan Ulama yang telah terbangun dalam wilayah Internasional. Dengan penelitian pada Ulama Melayu-Indonesia, bukan berarti hasilnya berlaku lokal bagi Muslimin di Nusantara, karena Jaringan Ulama yang terjadi ini merupakan mata rantai yang sangat luas dan menyeluruh ke semua belahan Dunia Muslim. Ulama Melayu-Indonesia adalah merupakan bagian dari jaringan besar tersebut.
Penelitian ini juga akan lebih terfokus lagi, yakni hanya terbatas kepada para ulama yang hidup di masa abad ke-17 dan ke-18. Hal ini dikarenakan adanya pertimbangan, bahwa pada abad inilah mulai dilaksanakannya pemikiran serta gerakan pembaharuan di wilayah Islam Nusantara.
Disamping itu, dalam penelitian ini, ada beberap istilah kunci, yang harus kita fahami bersama terlebih dahulu. Menurut penulis, setidaknya ada dua istilah kunci didalam karya Azyumardi Azra ini yang menjadi sangat penting dan menentukan.
Pertama adalah kata Jaringan. Dengan jaringan ini maka diantara para ulama yang berasal dari berbagai daerah bisa melakukan kontak untuk melakukan dialog serta proses peleburan tradisi-tradisi “kecil” (little tradition) untuk membentuk “sintesis baru” yang sangat condong pada tradisi besar” (great tradition). Proses peleburan yang semacam ini, diantara ulama dilakukan dengan berpusat di Haramayn (Makkah dan Madinah). (P.109).
Kedua adalah kata Transmisi. Yang dimaksud dengan transmisi adalah, upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk menyebarkan / menyampaikan gagasan, ilmu serta metode yang diperoleh dari daerah tertentu, tentang sesuatu yang tertentu pula, untuk kemudian disebarkan ke berbagai daerah lainnya. Dalam konteks penelitian ini, maka yang dimaksud dengan transmisi ini adalah, upaya yang dilakukan oleh seorang ulama untuk menyebarkan / menyampaikan gagasan, ilmu serta metode yang diperoleh di Haramayn, tentang tradisi keagamaan pusat-pusat keilmuan Timur Tengah, ke berbagai dunia Muslim, seperti Melayu-Indonesi (Nusantara). Proses transmisi ini akan menghasilkan letupan-letupan pembaharuan, yang pada gilirannya nanti secara signifikan akan mempengaruhi perjalanan historis Islam di tanah air masing-masing. (Pengertian transmisi ini kami ambil dari pemahaman atas kata transmitters, yang dipergunakan oleh peneliti.(P.75).
C.                                                         C. Sistematika Bab-Bab Penulisan buku
Untuk memberikan  gambaran atas bab-bab yang dibahas dalam buku ini, berikut ini akan kami sampaikan sistematika pembahasan serta penulisan bab yang ada dalam buku Jaringan Ulama ini, sebagai berikut;
Bab I, menjelaskan kedatangan  Islam dan hubungan Nusantara dengan Timur Tengah yaitu  teori-teori yang berkembang diantara para ahli sejarah, tentang  seputar kedatangan Islam ke Nusantara dan mengenai hubungan awal antara muslim  Nusantara dengan Timur Tengah tepatnya Haramayn.
Bab II, mengupas Jaringan Ulama di Haramayn abad ke -17 yaitu mengungkapkan tentang kebangkitan dan perkembangan jaringan ulama internasional pada abad ke-17, yang berpusat di Haramayn. Berbagai kebijakan yang diambil dalam pemerintahan Haramayn, yang kemudian memunculkan kemudahan dan efektifitas diantara para ulama untuk melakukan transmisi keilmuan diantara mereka. Selain itu juga dijelaskan proses ekspansi jaringan ulama ke daerah lain.
Bab III, mengungkapkan tentang adanya pembaharuan yang terjadi, sebagai akibat dari terjalinnya antar ulama dari berbagai daerah ini. Perkembangan dan kecenderungan masyarakat muslim dari mistik menuju pada neo-sufisme. Dalam bab ini juga akan dijelaskan tentang penyebaran pembaharuan yang terjadi dalam jaringan tersebut, ke dunia Islam yang lebih luas.
Bab IV, menjelaskan tentang ulama Nusantara yang memiliki andil terhadap kelahiran pembaharuan Islam di Nusantara ini. Secara mendalam dan  terperinci dijelaskan tentang biografi, pemikiran, jaringan yang dilakukannya, perenan serta karya-karya dari beberapa ulama Nusantara, seperti Nur Al Din Al Raniri (W. 1068/1658), ‘Abd Al Ra’uf Al Sinkili (1024-1105/1615-930) dan Muhammad Yusuf Al Makassari (1037-1111/1627-99).
Bab V, dalam bab ini menjelaskan tentang jaringan ulama beserta langkah pembaharuan yang dilakukan oleh para ulama di wilayah Melayu-Indonesia, khusunya pada abad ke-18.
Selain kesimpulan, dalam akhir buku ini dikemukan juga tentang rute perjalanan Al Raniri, rute perjalanan Al Maqassari, bibliografi serta indek nama orang dan subjek
D.                                                         D. Survey Literatur
Dalam penelitian sebelumnya yang serupa peneliti lain belum membahas secara detail jaringan ulama Timur Tengah dengan kepulauan nusantara.Sebagai contoh adalah beberapa karya J.O. Voll  “Muhammad Hayya Al Sindi and Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhab: An Analysis of an Intellectual Group In The Eighteenth Century Madina”, BSOAS, (1975), dan “Hadith Scolars and Thariqahs: An ‘Ulama Group In The Eighteenth Century Haramayn and Their Impact in the Islamic Worlds” JAAS (1980). Dalam kedua karyanya tersebut, Voll membahas tentang jaringan ulama yang berpusat di Makkah dan Madinah (Haramayn), serta hubungan mereka dengan ulama yang tinggal di bagian lain Dunia Muslim. Walaupun didalamnya juga tercakup, tentang peranan beberapa ulama Melayu-Indonesia, seperti ‘Abd Al-Rauf Al Sinkili dan Muhammad Yusuf Al Maqassari, namun penyampaiannya sangat singkat dan terkesan sambil lalu saja. Hal ini dikarenakan memang Voll lebih mengkonsentrasikan penelitiannya terhadap kebangkitan jaringan diantara ulama Timur Tengah dan Anak Benua India. (P.xxii).
Selain Voll, ada juga peneliti lain, yakni Johns, yang telah menulis hubungan-hubungan ulama, termasuk didalamnya adalah ulama Melayu-Indonesia, seperti Al-Sinkili yang memiliki jalinan dengan ulama Haramayn Ibrahim Al-Kurani. Namun demikian, sama dengan Voll, Johns juga hanya membahasnya secara sederhana dan tidak mendalam. Hal ini terbukti didalam bukunya yang berjudul “Friends in Grace: Ibrahim Al-Kurani and ‘Abd Al-Rauf Al Sinkili”. Johns sama sekali tidak pernah menjelaskan bagaimana hubungan Al-Sinkili dengan ulama Haramayn yang lainnya. Selain itu, pada kenyataannya  kajian-kajian yang membahas ulama-ulama terkemuka. selain Al-Sinkili juga mengalami kegagalan didalam mengungkapkan bagaimana jaringan keilmuan mereka dengan ulama Timur Tengah. (P.xxii).
Dengan demikian, kita bisa ambil pemahaman bahwa masih sangat sedikit literatur yang mengkaji tentang jaringan ulama Melayu-Indonesia dengan ulama Timur Tengah, terutama dalam aspek “kandungan intelektual”-nya. Walaupun ada, ternyata pembahasannya juga masih sangat mengambang dan tidak mendalam sama sekali. Oleh karena itulah, maka Dr. Azyumardi Azra, mencoba untuk melakukan penelitian ini, sebagai upaya  untuk mengungkap jaringan ulama Melayu-Indonesia dengan Ulama Timur Tengah secara komprehensif. Dalam penelitiannya ini, peneliti lebih menekankan pada aspek kandungan intelektualnya, karena kebanyakan penelitian yang telah dilakukan lebih  mengarah pada aspek “organisasional” nya saja. Dengan penelitian pada aspek kandungan intelektual ini, diharapkan kita akan mampu mengetahui bentuk gagasan serta ajaran yang ditrasmisikan melalui jaringan ulama.
                                                       BAB II
Pembahasan
E.                                                          A. Masalah utama yang menjadi fokus pembahasan
Fokus utama pembahasan dalam buku ini merupakan hasil penelitian yang merupakan sebuah karya komprehensif tentang transmisi gagasan–gagasan keagamaan, khususnya gagasan pembaharuan dari pusat-pusat keilmuan Islam, ke bagian-bagian lain Dunia Muslim dipenjuru dunia. Menghubungkan mata rantai dengan pusat pertumbuhan dan perkembangan Islam di Timur Tengah dengan pembaharuan yang terjadi di berbagai negara Muslim.
Penelitian ini juga merupakan studi komprehenshif pertama tentang jaringan ulama global – dengan referensi khusus kepada ulama Melayu- Indonesia – beserta kecenderungan kecenderungan intelektual mereka pada abad -17 dan ke -18. Yang berupa kajian tentang peranan jaringan ulama dalam transmisi gagasan gagasan pembaruan awal dalam sejarah Islam di Nusantara. (P. xxiii)
Dikemukakan lebih jauh, bahwa penelitian ini adalah merupakan langkah awal dalam menyelidiki sejarah sosial dan intelektual ulama dan pemikiran Islam di Indonesia, khususnya dalam kaitannya dengan perkembangan pemikiran Islam di pusat-pusat keilmuan Islam di Timur Tengah.
B.      Kegelisahan akademik dan pertanyaan
Sebuah penelitian dilakukan karena  munculnya kegelisahan serta problem di dalam pandangan seseorang dan ini, yang menuntut untuk dilakukan sebuah kajian secara serius dan mendasar, melalui data-data akurat serta metodologi yang tepat. Kegelisahan yang menjadikan Dr. Azyumardi Azra   melakukan penelitian seputar Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara, terutama pada abad ke-17 dan 18 ini dapat dilihat pada bagian awal tulisan beliau yang mengungkapkan beberapa persoalan mendasar yang melatar belakangi terhadap penulisan dan penelitian, yang sekaligus merupakan kegelisahan akademik peneliti
Pertama,transmisi gagasan gagasan pembaruan merupakan bidang kajian Islam yang cukup terlantar dengan tidak adanya kajian yang komprehenshif tentang transmisi gagasan gagasan keagamaan –khususnya gagasan gagasan pembaruan –dari pusat keilmuan Islam ke bagian bagian lain dunia muslim.Berbeda dengan banyaknya kajian tentang transmisi ilmu pengetahuan, misalnya dari Yunani kepada kaum muslim selanjutnya kepada Eropa modern( P.xvii)
Kedua, minimnya perhatian dari para peneliti untuk melakukan upaya pengkajian terhadap sejarah sosial-intelektual Islam pada masa ini, karena kebanyakan perhatian mereka dicurahkan sepenuhya hanya untuk menyoroti persoalan sejarah politik Muslim.(P.xxii)
Ketiga pada periode ini sering dipandang sebagai masa gelap dalam sejarah muslim karena terjadi kemerosotan entitas entitas politik muslim sehingga dalam studi ini penulis ingin mengungkapkan bahwa pada abad ke -17 dan ke- 18 adalah salah satu masa yang paling dinamis dalam sejarah sosial –intelektual kaum muslimin.(P.xviii)
Keempat, adanya kecenderungan dikalangan para peneliti dan sarjana di masa modern ini, untuk tidak memasukkan kepulauan Nusantara dalam kajian seputar pembaharuan tentang Islam dan pemikirannya. Sebagai kawasan periferi (pinggiran), Nusantara dipandang tidak memiliki tradisi keilmuan yang mantap, bahkan lebih jauh, Islam yang ada dikawasan ini dianggap sebagai Islam "yang tidak sebenarnya", karena telah bercampur aduk dengan budaya-budaya lokal yang ada di daerah ini.( P. xix)
Kelima , sebuah kekeliruan yang menganggap hubungan antara antara Islam di Nusantara dengan Timur Tengah lebih bersifat politis ketimbang keagamaan. Setidaknya sejak abad ke -17 hubungan di antar kedua wilayah muslim ini umumnya  bersifat keagamaan dan keilmuan meski juga terdapat hubungan politik antar beberapa kerajaan Muslim nusantara misalnya Dinasti Utsmani . Jika hubungan keagamaan dan dan keilmuan masa belakangan ini mendorong munculnya kesadaran politik ,khususnya vis- a- vis Imperialisme Eropa, itu merupakan konsekuensi dari meningkatnya kesedaran tentang identitas Islam( P.xix)
Dari berbagai kegelisahan diatas, maka penelitian yang dilakukan oleh Dr. Azyumardi Azra ini adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar sebagai berikut;
1.   Bagaimana jaringan terbentuk antara ulama Timur Tengah dengan murid-murid Melayu-  Indonesia?, bagaimana sifat dan karakteristik jaringan itu ?, dan apakah ajaran atau tendensi intelektual yang berkembang dalam jaringan tersebut ?
2.   Apa peran ulama Melayu-Indonesia dalam transmisi kandungan intelektual jaringan   ulama itu ke Nusantara ? Apa dampak lebih jauh dari jaringan ulama terhadap perjalanan Islam di Nusantara ?(P. xxiii)

C.   Metodologi  penelitian
a.      Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian keagamaan Islam sebagai produk interaksi sosial yang diulas berdasarkan fakta historis dengan kata lain merupakan penelitian sejarah
       b.  Pendekatan Penelitian
Teori pendekatan yang dipergunakan oleh Azyumardi Azra adalah pendekatan historis. Hal ini terlihat bagaimana peneliti melakukan pelacakan terhadap asal mula kehadiran dan perkembangan Islam di Melayu-Indonesia. Hal ini dipandang penting, sebagai upaya untuk melakukan penelitian terhadap kaitan antara perkembangan yang terjadi di kalangan kaum Muslim Nusantara dengan dinamika yang terjadi di wilayah Timur Tengah pada saat itu. (P. 19).
Selain itu, peneliti juga menggunakan pendekatan filosofis, yakni dalam kaitannya dengan upaya yang dilakukan untuk menunjukkan bahwa sebenarnya abad ke-17 dan 18, bukanlah abad kegelapan bagi umat Islam, tapi sebaliknya,  merupakan abad yang sangat harmonis dan penuh dengan dinamika sosial-intelektual. Islam bukan lagi mengedepankan aspek mistiknya saja, akan tetapi lebih mengorientasikan pada perkembangan pemikiran dan keilmuan serta syariat. (P. 109).
Dengan pendekatan historis-filosofis diatas, peneliti ingin mengedepankan bahwa dalam realitas kesejarahan, pertumbuhan dan perkembangan Islam di Nusantara, yang pada dasarnya memiliki keterkaitan erat dengan dinamika umat Islam di Timur Tengah, bukanlah sekedar dilandasi oleh faktor politis. Dikatakan oleh peneliti, bahwa pada masa awalnya, yakni pada akhir abad ke-8 hingga abad ke-12, hubungan diantara kedua wilayah umat Islam tersebut, lebih sebagai hubungan perdagangan dan ekonomi. Pada masa berikutnya, hingga akhir abad ke-15, hubungan antar kedua kawasan mulai mengambil aspek yang lebih luas. Disamping mereka melakukan praktik perdagangan, para pedagang dari Timur Tengah juga melakukan upaya penyebaran agama Islam, sehingga akhirnya terjalin hubungan sosial-keagamaan yang sangat erat diantara keduanya. Selanjutnya, pada abad ke-15 hingga paru kedua abad ke-17, hubungan yang terjalin diantara Melayu-Indonesia dengan Daulat Utsmani, lebih banyak diwarnai oleh faktor politis. Kenyataan ini sebagai akibat dari adanya pengaruh perebutan dua kekuatan besar, yakni dari penguasa Spanyol dan Daulah Utsmani. Dengan adanya hal ini, maka kemudian para elit penguasa di Nusantara mengambil posisi untuk menjalin kebersamaan dengan daulat Utsmani. Hubungan yang lebih bersifat keagamaan dan politis ini, dikembangkan dengan para penguasa di Haramayn. Dengan adanya jaringan dengan ulama di Haramayn ini, kemudian menjadikan ulama dari Nusantara untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan keilmuan serta intelektualnya. Dari sinilah kemudian semenjak paruh kedua abad ke-17 ini, hubungan diantara ulama Haramayn dengan ulama di Nusantara ini lebih merupakan hubungan Sosial-intelektual, selain juga hubungan sosial-keagamaan. (P.57-58).
Disamping pendekatan historis-filosofis, peneliti juga mempergunakan pendekatan sosiologis-antropologis. Dengan pendekatan ini, peneliti ingin menelusuri pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan yang terjadi dikawasan periferi, yang selama ini dianggap remeh oleh para peneliti serta sarjana modern. Dari penelitiannya ini, saudara Azyumardi Azra, mengemukakan bahwa dari little tradition yang ada di kawasan periferi ini, terdapat gagasan serta ide-ide pembaharuan, yang pada dasarnya juga dikembang tumbuhkan dari jaringan ulama, yang berpusat di Haramayn, dengan memunculkan “sintesis baru” menjadi great tradition. (P. 110).
C.    Metode analisis
Sebagaimana yang telah kami kemukakan diatas, bahwa penelitian ini dilakukan oleh Dr. Azyumardi Azra, dalam waktu lebih dari dua tahun. Selama penelitiannya beliau telah berupaya untuk meneliti data-data dari tempat-tempat yang memiliki keterkaitan, baik secara langsung maupun tidak dengan tema penelitiannya. Penelitian yang  beliau lakukan ini, merupakan penelitian terhadap pustaka-pustaka yang telah tersedia diberbagai daerah tersebut (Library Research). Peneliti mempergunakan ratusan literatur, baik yang berbentuk manuskrip, buku, majalah maupun yang lainnya. Dalam bukunya ini juga terdapat sekitar 240 nomor catatan kaki, penelitian ini dilakukan betul-betul serius dan mendalam, berdasarkan pada data-data yang akurat dan pasti.kajian ini merupakan studi pertama yang menggunakan sumber sumber arab secara ekstentif.
Dalam melakukan penelaahan terhadap sumber-sumber data, peneliti membedakannya menjadi beberapa bagian, yakni sumber primer, sumber sekunder, Disertasi dan makalah yang belum diterbitkan. Yang termasuk dalam sumber primer adalah, manuskrip dan buku cetakan. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, peneliti mempergunakan sekitar 28 manuskrip dan 90 lebih buku cetakan. Selain itu, masih banyak literatur pendukung, atau yang disebut sebagai sumber sekunder. Sumber sekunder ini meliputi 200 lebih buku, dan 200 buah artikel. (P. 299-321).
D.                                                      D.  Hasil Temuan Peneliti
Peneliti mengemukakan bahwa sumber dinamika Islam dalam abad ke -17 dan ke -18 adalah jaringan ulama yang terutama berpusat di Mekah dan madinah (Haramayn).Posisi penting kedua kota suci khususnya kaitannya dengan jamaah haji mendorong sejumlah guru besar (ulama) dan penuntut ilmu dari berbagai wilayah Dunia Muslim datang dan bermukim di sana yang pada gilirannya menciptakan semacam jaringan keilmuan yang unik . Tema pokok pembaruan mereka adalah rekontruksi sosio – moral masyarakat masyarakat muslim.Karena hubungan hubungan ekstensif dalam jaringan ulama, semangat pembaruan tadi segera menemukan berbagai ekspresinya di banyak bagian Dunia Muslim.(P.xviii)1
Jaringan ulama pada pra abad ke -17 menurut Ibn Jubayr di Mekkah pada tahun 579-580/ 1183-1184 dia menyaksikan berbagai kegiatan keilmuan di al masjid al haram:terdapat para pembaca al Qur’an dan penyalin kitab kitab keagamaan . Murid murid duduk dalam halaqah mengelilingi Guru mereka dan orang berilmu lainnya (P.78)  )tradisi Halaqah ini juga merupakan praktik umum yang terjadi di madinah sebagaimana disaksikan Ibn Batutah(P.79  )
Pada perkembangan abad ke -17 jaringan ini menampakkan geliatnya.setidaknya dua ulama non-Hijazi yang kelihatannya memberikan sumbangan besar kepada pertumbuhan jaringan ulama pada abad ini yaitu pertama sayyid sibghat allah dan Ruh Allah jamal al Bawaji kelahiran India dan orang tua asal persia,kedua adalah seorang mesir[1] bernama Ahmad b Ali b Abd alQuddus Al Shinawi yang keduanya menghasilkan pertukaran pengetahuan dan transmisi”tradisi tradisi kecil” Islam dari India dan Mesir ke Haramayn karena proses interaksi keilmuan.masing masing ulama tersebut mempunyai murid murid yang belajar di ribathnya dengan ajaran hadis dan tarekatnya (P.85-86)
Pada abad ke-18 mata rantai jaringan ulama berlanjut pada murid muridnya yang pada gilirannya menjadi penghubung krusial dengan ulama abad-18(P. 107)
       Terbentuknya jaringan ulama Timur Tengah dengan murid murid Melayu-Indonesia
Hubungan antara kaum muslimin di kawasan Melayu Indonesia dan Timur Tengah telah terjalin sejak masa masa awal Islam.Para pedagang Muslim dari arab, Persia dan anak Benua India yang mendatangi kepulauan nusantara tidak hanya berdagang tetapi dalam batas tertentu juga menyebarkan Islam kepada penduduk setempat yang dilakukan oleh pengembara sufi yang sejak akhir abad ke -12 datang dalam jumlah semakin banyak. Imbasnya kemakmuran kerajaan muslim mendorong segmen segmen tertentu dalam masyarakat Melayu Indonesia melakukan perjalanan ke pusat pusat keilmuan dan keagamaan di Timur Tengah di sepanjang rute perjalanan haji.Hal ini memunculkan komunitas yang oleh sumber sumber Arab di sebut Ashab Al Jawiyyin ( saudara kita orang Jawi) di haramayn. Istilah Jawi meskipun berasal dari kata “Jawa” merujuk kepada setiap orang yang berasal dari nusantara
Murid murid Jawi di Haramayn merupakan inti utama tradisi intelektual dan keilmuan Islam di antara kaum muslim Melayu Indonesia.Kajian atas sejarah kehidupan ,keilmuan dan karya karya yang dihasilkan menjelaskan tidak hanya  hubungan keagamaan dan intelektual diantara kaum Muslim nusantara dan Timur Tengah tetapi juga semasa di Dunia Melayu Indonesia
Di sinilah mereka menjadi transmitter utama tradisi keagamaan tradisi Islam dari pusat pusat keilmuan Islam di Timur Tengah
Penulis menegaskan bahwa sepanjang menyangkut perkembangan islam, khususnya abad-17 neo-sufisme merupakan wacana dominan dalam jaringan ulama Nusantara dengan Timur Tengah khususnya Mekkah- Madinah menyaksikan perkembangan pemikiran Islam neo-sufisme sehingga sebagai wilayah yang terlibat dalam proses transmisi keilmuan Arab dari Timur Tengah, Indonesia menampakkan kecenderungan Islamnya yang neo-sufisme.[2]
Dari waktu ke waktu ajaran neo sufisme di Indonesia cenderung menguat.Bahkan dalam konteks sejarah ajaran salah satu jenis tarekat yakni tarekat Syattariyyah.sifat neo sufisme ini diterjemahkan menjadi penolakan terhadap doktrin wahdatul wujud ( kesatuan wujud ) yang sebelumnya menjadi substansi tasawuf .Hanya saja meskipun telah terjadi pembaharuan atas jenis dan sifat tasawuf dalam gerakan neo sufisme, satu hal yang masih dipegang teguh oleh para pengamal ajaran neo sufisme adalah berkaitan dengan organisasi tarekat. Ada kecenderungan bahwa para sufi yang terlibat dalam propaganda neo sufisme memanfaatkan organisasi tarekat untuk menciptakan jaringan Internasional yang dapat menghubungkan satu ulama sufi dan ulama sufi lain dan juga satu wilayah Islam dengan wilayah Islam lain.3
  karakteristik yang berkembang dalam jaringan ulama
Karakteristik dasar jaringan ulama ini tidaklah secara ketat dan formal di organisasi dalam struktur herarkis. Mobilitas Guru dan murid yang relatif tinggi memungkinkan pertumbuhan jaringan ulama sehingga mengatasi batas batas wilayah perbedaan asal etnis dan kecenderungan kecenderungan keagamaan dalam hal madzab (P.114 )
Namun yang menonjol dua sarana penting yang membuat hubungan relatif solid adalah isnad hadis dan silsilah tarekat (P.114 )
Dalam pengkajian keilmuan, mereka duduk dalam majlis yang dikenal dengan ribath membahas tentang keilmuan
  Tendensi intelektual yang berkembang dalam jaringan itu
Dalam  pengertian tertentu, haramayn adalah sebuah”panci pelebur” (melting pot) berbagai tradisi “kecil” Islam sama-sama lebur untuk membentuk suatu “sintetis baru” yang snagta= condong pada “tradisi besar” (great tradition) Kita telah mengamati sebelumnya bagaimana para ulama’ dari Benua India, misalnya membawa tradisi-tradisi mistis mereka ke Haramayn, sementara para ulama dari Mesir dan Afrika Utara datang dengan muatan ilmu- ilmu hadis.Tradisi-tradisi ini berinteraksi satu dengan yang lainnya, dan dengan tradisi yang telah mapan di Haramayn sendiri. Apa yang dihasilkan dari interaksi tradisi-tradisi ini akan dibahas di bawah.(P.118)
Ciri paling menonjol dari jaringan ulama adalah bahwa saling pendekatan (rapprodchement) antara para ulama yang beroreintasi pada syariat (lebih khusus lagi, para fukaha) dan para sufi mencapai puncaknya. (P.119)

Sikap saling pendekatan antara syari’at dan tasawuf (sufisme) dan masuknya para ulama’ ke dalam tarekkat mengakibatkan timbulnya “neosufisme”. Ada banyak pembahasan mengenai makna dan penggunaan istilah “neosufisme” yang diciptakan oleh Fazlurahman.menurut Rahman neosufisme adalah tasawuf yang telah diperbarui, yang terutama dilucuti dari ciri dan kandungan ekstatik dan metafisiknya, dan digantikan dengan kandungan yang tidak lain dari dalil-dalil ortodoksi Islam. Lebih jauh dia menjelaskan, tasawuf model baru ini menekankan dan memperbaharui faktor-faktor moral dan asli dan kontrol diri yang puritan dalam tasawuf dengan mengorbankan ciri-ciri berlebihan dari tasawuf populer yang menyimpang (unorthodox sufisme ), pusat perhatian neo sufisme adalah rekonstruksi sosio moral dari masyarakat muslim. Ini berbeda dengan tasawuf sebelumnya, yang terutama menekankan individu bukan masyarakat. Akibatnya, Rahman menyimpulkan, karakter keseluruhan neo sufisme tak pelak lagi adalah puritan dan aktivis.(P.119-120)
Pada masa awal Islam, tasawuf merupakan salah satu bentuk ungkapan keberagamaan seseorang yang sifatnya sangat pribadi. Seseorang yang masuk ke dalam dunia tasawuf bermaksud menegaskan hubungan spiritual dirinya sebagai hamba(‘abid)dengan Tuhannya yang disembah (ma’bud).Hubungan antara abid dan ma’bud ini- yang lebih menekankan aspek batin( esoteric)- umumnya dipahami berbeda dengan hubungan antara ‘abid dengan ma’bud yang diatur melalui doktrin doktrin fikih dan lebih bersifat lahir.karena wataknya sangat personal, para sufi periode awal tidak bergabung dalam sebuah wadah yang kemudian disebut tarekat.Tokoh tokoh sufi seperti Zunnun al Misri, Rabiah al Adawiyah, al Hallaj tidak dihubungkan dengan tarekat tertentu.4[3]
Tarekat  secara kelembagaan tidak dikenal  dalam islam hingga abad ke-8 atau abad ke-14 M. Artinya,sebagai organisasi dalam dunia tasawuf tarekat bisa dianggap sebagai hal  baru yang  tidak pernah dijumpai dalam islam periode awal.5
Tarekat pada masa awal sifatnya sangat personal, aspek yang menonjol dari sifat tasawuf pada masa awal awal islam adalah ungkapan ungkapan yang menunjukkan cinta kasih(’azsyiq ma’syuq) dengan tuhan bahkan ungkapan ungkapan yang menunjukkan penyatuan atau peleburan diri sang sufi dengan rabbnya (wahdat al wujud). Tentu saja ajaran-  ajaran seperti ini hanya dapatdipahami oleh sang sufi sendiri. Bagi orang awam, yang lebih menekankan aspek lahir(syar’iyyah)ajaran sufi seringkali disalahtafsirkan, bahkan tidak jarang menimbulkan konflik keagamaan.6
Dalam perkembangan berikutnya muncul kecenderungan untuk mengkritik model tasawuf seperti itu.Tokoh tokoh seperti al Ghazali dan al Qushairi termasuk yang terdepan dalam melakukan reformulasi ajaran tasawuf. Mereka menekankan rekonsiliasi antara ajaran tasawuf dan ajaran syari’at.mereka mengakui bahwa bertasawuf itu penting dan dekat dengan al Haqq. Namun bertasawuf tidak serta merta boleh  meninggalkan ritual ibadah syar’iyah7[4]
Kecenderungan rekonsiliatif ini terus berkembang seiring perkembangan ajaran tasawuf ke berbagai wilayah di dunia islam termasuk Indonesia (Fathurahman 2003)pada gilirannya kecenderungan tasawuf demikian semakin menjadi mainstream di dunia islam secara keseluruhan dan disebut kemudian dengan neo-sufisme8
Dalam konteks islam indonesia, isu penting yang berkembang sejak awal proses islamisasi adalah sufisme.Di setiap wilayah mana Islam islam berkembang baik level kerajaan maupun masyarakat, sufisme senantiasa mewarnai secara keseluruhan gambaran Islam yang muncul9
Al Qusyasyi (tokoh jaringan ulama Haramayn) mengakui perbedaan perbedaan makna makna dari syariat dan tarekat karena keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Al qur’an dan hadis Nabi(P.130 )
Lebih lanjut dengan pandangan yang jernih mengenai hubungan yang layak antara syariat dan tarekat menjelaskan bahwa tidak ada maqam atau ahwal(tahap tahap dalam perjalanan mistis ) yang sejati tanpa bekal yang cukupakan pengetahuan(ilm)secukupnya dan perbuatan baik seperti yang diajarkan Al Qur’an dan Hadis.ilm saja tidak cukup; pasti tidak akan ada perjalanan mistis sejati bagi mereka yang tidak memenuhi ibadah wajib seperti shalat, puasa atau sedekah dan perbuatan perbuatan baik lainnya yang dianjurkan. (P.131)
Para tokoh dalam jaringan ulama bersepakat, sama sekali mustahil bagi para sufi mencapai tujuan spiritual mereka tanpa mematuhi sepenuhnya doktrin ortodoks Islam.mereka tentu saja mengakui adanya manifestasi dan praktik yang menyimpang dari tasawuf yang sebenarnya terutama pada tingkat massa tetapi hal itu terutama disebabkan kurangnya pemahaman atas ajaran ajaran tasawuf yang murni.Karena itu, tasawuf  sendiri tidak boleh dianggap bertanggung jawab atas semua bid’ah dan khurafat yang terdapat dikalangan masyarakat muslim.
Keberadaan sufi  bukanlah bahaya yang mematikan yang harus kita ambil aturan dalam sejarah, karena setiap muslim yang baik mengetahui bahwa seseorang dengan kegiatan intelektualnya  dapat mencapai pemahaman yang lebih dalam mengenai dunia dan Tuhannya10[5]
Kecenderungan yang mencolok dari jaringan ulama ini adalah tekanannya penggunaan akal  bahkan juga aktifisme (P.139) berulang kali mereka mendorong kaum muslim agar sepenuhnya menjalankan tugas tugas duniawi mereka untuk menopang hidup dengan jalan mengajar, berdagang, bertani. menurut pendapat Al Qusyasyi seorang sufi sejati bukanlah orang yang mengasingkan dirinya dari masyarakat melainkan menganjurkan kebaikan dan melarang kejahatan, mengulurkan tangan membantu yang tertindas yang sakit dan yang miskin. (P.140 ).
Dengan demikian tidaklah benar tuduhan kaum modernis bahwa tasawuf mendorong kepasifan dan penarikan diri dari permasalahan duniawi hanya didasarkan terutama pada ketidaktahuan dan kekeliruan pengertian tentang keseluruhan ajaran tasawuf. Saya telah membuktikan sepanjang pembahasan ini bahwa tak seorangpun diantara para tokoh kita dalam jaringan ulama mengajarkan kepasifan  dan penarikan diri,sebaliknya ,mereka mengimbau kaum muslim agar aktif ; bagi mereka , pemenuhan kewajiban duniawi   kaum muslimin merupakan bagian integral dari kemajuan spiritual dalam perjalanan mistis(P.357)
Peran ulama Melayu-Indonesia dalam transmisi kandungan intelektual jaringan    ulama itu ke Nusantara  
Para ulama melayu Indonesia yang menjalin hubungan erat dengan tokoh tokoh penting dalam jaringan ulama haramayn pada abad ke-18 memainkan peranan bukan hanya mempertahankan momentum pembaharuan di Nusantara (yang sebelumnya di rintis oleh ulama seperti ArRaniri,Al Sinkili dan Al MAqassari) tetapi lebih penting meneruskan bendera pembaharuan kepada generasi ulama Melayu-Indonesia sesudahnya.tema sentral pemikirannya adalah keselarasan aspek aspek hukum dan mistis Islam. Keselarasan itu juga merupakan tema sentral Al palimbani dan rekan rekannya Sementara dawud alfatani merupakan contoh baik dari seorang ulama yang berhasil dalam usahanya mendamaikan aspek hukum dan aspek mistik Islam (P.335-339)
Dampak lebih jauh dari jaringan ulama terhadap perjalanan Islam di Nusantara
Pada tahun tahun terakhir abad ke -18 tanda tanda yang lebih jelas dari pembaruan keagamaan muncul di kalangan masyarakat minangkabau. Misalnya diantara surau surau Syathariyah ada usaha sadar untuk menghidupkan kembali ajaran ajaran Al sinkili terutama menyangkut pentingnya  syariat dalam praktik tasawuf( P.367)11
Islam masuk Minangkabau pada masa kerajaan samudra pasaikemudian masuk ke pedalaman di bawa oleh syeh Syamsudin. Imrigan imagran Aceh berhasil mengislamkan penduduk pedalaman bangkahulu12
Gerakan awal pembaruan pemikiran islam modern di Minangkabau menjelma menjadi Gerakan padri.Gerakan yang dipelopori dan dipimpin langsung oleh putra putra daerah ini yang pulang haji di awal abad ke-19,melakukan pemurnian islam menurut ide, pola dan cara yang dilakukan kaum wahabiyah di arabia13[6]
E.      Kontribusi peneliti
Penelitian ini memiliki beberapa kontribusi riil bagi pengembangan keilmuan Islam. Diantaranya adalah;
Pertama, tertolaknya suatu asumsi yang mengatakan bahwa hubungan antara Ulama di Timur Tengah dengan para Ulama di Nusantra, hanyalah bersifat politis. Hal ini dikarenakan, semenjak abad ke-17, terutama diparuh kedua abad ini, hubungan diantara mereka lebih menekankan pada aspek sosial-intelektual (keilmuan). (P. 58).
Kedua, tertolaknya suatu asumsi yang mengatakan bahwa abad ke-17 dan 18 adalah abad kegelapan bagi umat Islam. Karena pada kenyataannya di abad ini justru merupakan masa yang sangat harmonis dan dinamis, bagi perkembangan pemikiran serta keilmuan Islam. Islam dimasa ini bukan lagi Islam yang bercorak mistik (sufistik), akan tetapi Islam yang merupakan perpaduan antara Tasawwuf dan Syariah (Neo Sufism). Terjadinya perpaduan diantara keduannya ini, merupakan kesadaran dari para ulama fiqih (fuqoha) dan ulama tasawwuf (sufi), untuk saling menyadari akan keberadaan serta peranan masing-masing. Dengan adanya kesadaran yang demikian inilah, maka kemudian berkembang suatu praktik keIslaman yang baru, yakni yang disebut dengan Neo-Sufisme. (P.109).
Ketiga, adanya peranan serta keterlibatan ulama-ulama melayu dalam jaringan ulama Internasional, yang pada taraf selanjutnya mampu melakukan upaya transmisi keilmuan dan pemikiran ke wilayah Nusantara, untuk melakukan langkah pembaharuan. Perkembangan pemikiran dan keilmuan didunia Islam, tidak terlepas dari adanya jaringan yang terbentuk diantara para ulama Timur Tengah dengan ulama-ulama lain di berbagai dunia Muslim. Demikian pula dengan perkembangan pemikiran dan pembaharuan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia,  merupakan hasil dari keberadaan ulama Melayu-Indonesia yang terlibat dalam jaringan tersebut. Peranan Ulama ini bisa dilakukan dengan mengaplikasikan ilmu, gagasan serta metode yang didapatkan dalam jaringan tersebut, di tanah airnya, atau juga bisa melalui buku-buku yang disusun dan disebarkan ke wilayah asalnya. (dalam bab IV  / P.166-239 dan juga bab V).
    BAB III
Penutup
A.    Kesimpulan
1.      Fokus utama pembahasan dalam buku ini merupakan hasil penelitian komprehensif tentang transmisi gagasan–gagasan keagamaan, khususnya gagasan pembaharuan dari pusat-pusat keilmuan Islam, ke bagian-bagian lain Dunia Muslim dipenjuru dunia. Menghubungkan mata rantai dengan pusat pertumbuhan dan perkembangan Islam di Timur Tengah dengan pembaharuan yang terjadi di berbagai negara Muslim
2.      Kegelisahan yang menjadikan Dr. Azyumardi Azra   melakukan penelitian seputar Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara, terutama pada abad ke-17 dan 18 ini adalah:
Pertama,transmisi gagasan gagasan pembaruan merupakan bidang kajian Islam yang cukup terlantar dengan tidak adanya kajian yang komprehenshif tentang transmisi gagasan gagasan keagamaan –khususnya gagasan gagasan pembaruan –dari pusat keilmuan Islam ke bagian bagian lain dunia muslim.
Kedua, minimnya perhatian dari para peneliti untuk melakukan upaya pengkajian terhadap sejarah sosial-intelektual Islam pada masa ini, karena kebanyakan perhatian mereka dicurahkan sepenuhya hanya untuk menyoroti persoalan sejarah politik Muslim.(P.xxii)
Ketiga pada periode ini sering dipandang sebagai masa gelap dalam sejarah muslim karena terjadi kemerosotan entitas entitas politik muslim sehingga dalam studi ini penulis ingin mengungkapkan bahwa pada abad ke -17 dan ke- 18 adalah salah satu masa yang paling dinamis dalam sejarah sosial –intelektual kaum muslimin.(P.xviii)
Keempat, adanya kecenderungan dikalangan para peneliti dan sarjana di masa modern ini, untuk tidak memasukkan kepulauan Nusantara dalam kajian seputar pembaharuan tentang Islam dan pemikirannya. Sebagai kawasan periferi (pinggiran), Nusantara dipandang tidak memiliki tradisi keilmuan yang mantap, bahkan lebih jauh, Islam yang ada dikawasan ini dianggap sebagai Islam "yang tidak sebenarnya", karena telah bercampur aduk dengan budaya-budaya lokal yang ada di daerah ini.( P. xix)
Kelima , sebuah kekeliruan yang menganggap hubungan antara antara Islam di Nusantara dengan Timur Tengah lebih bersifat politis ketimbang keagamaan. Setidaknya sejak abad ke -17 hubungan di antar kedua wilayah muslim ini umumnya  bersifat keagamaan dan keilmuan meski juga terdapat hubungan politik antar beberapa kerajaan Muslim nusantara misalnya Dinasti Utsmani . ( P.xix)
3.      Metodologi Penelitian
a.    Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian keagamaan Islam sebagai produk interaksi sosial yang diulas berdasarkan fakta historis dengan kata lain merupakan penelitian sejarah
b. Pendekatan Penelitian
 Pendekatan historis. Peneliti melakukan pelacakan terhadap asal mula kehadiran dan perkembangan Islam di Melayu-Indonesia. Kaitan antara perkembangan yang terjadi di kalangan kaum Muslim Nusantara dengan dinamika yang terjadi di wilayah Timur Tengah pada saat itu. (P. 19).
Pendekatan filosofis, upaya untuk menunjukkan bahwa sebenarnya abad ke-17 dan 18, bukanlah abad kegelapan bagi umat Islam, tapi sebaliknya,  merupakan abad yang sangat harmonis dan penuh dengan dinamika sosial-intelektual. (P. 109).
Pendekatan historis-filosofis , peneliti ingin mengedepankan bahwa dalam realitas kesejarahan, pertumbuhan dan perkembangan Islam di Nusantara, yang pada dasarnya memiliki keterkaitan erat dengan dinamika umat Islam di Timur Tengah, bukanlah sekedar dilandasi oleh faktor politis lebih jauh  merupakan hubungan Sosial-intelektual, selain juga hubungan sosial-keagamaan. (P.57-58).
Pendekatan sosiologis-antropologis, peneliti ingin menelusuri pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan yang terjadi dikawasan periferi, dengan mengemukakan bahwa dari little tradition yang ada di kawasan periferi ini, terdapat gagasan serta ide-ide pembaharuan, yang pada dasarnya juga dikembang tumbuhkan dari jaringan ulama, yang berpusat di Haramayn, dengan memunculkan “sintesis baru” menjadi great tradition. (P. 110).
c.  Metode analisis
 Penelitian yang  beliau lakukan ini, merupakan penelitian terhadap pustaka-pustaka yang telah tersedia diberbagai daerah tersebut (Library Research).kajian ini merupakan studi pertama yang menggunakan sumber sumber arab secara ekstentif
F.                                                                        4.  Hasil temuan peneliti
             Terbentuknya jaringan ulama Timur Tengah dengan murid murid Melayu- Indonesia
Murid murid Jawi di Haramayn merupakan inti utama tradisi intelektual dan keilmuan Islam di antara kaum muslim Melayu Indonesia. mereka menjadi transmitter utama tradisi keagamaan tradisi Islam dari pusat pusat keilmuan Islam di Timur Tengah
 Karakteristik yang berkembang dalam jaringan ulama
Karakteristik dasar jaringan ulama ini tidaklah secara ketat dan formal di organisasi dalam struktur herarkis. Mobilitas Guru dan murid yang relatif tinggi memungkinkan pertumbuhan jaringan ulama sehingga mengatasi batas batas wilayah perbedaan asal etnis dan kecenderungan kecenderungan keagamaan dalam hal madzab (P.114 )
        Tendensi intelektual yang berkembang dalam jaringan itu
Ciri paling menonjol dari jaringan ulama adalah bahwa saling pendekatan (rapprodchement) antara para ulama yang beroreintasi pada syariat (lebih khusus lagi, para fukaha) dan para sufi mencapai puncaknya. (P.119)
Sikap saling pendekatan antara syari’at dan tasawuf (sufisme) dan masuknya para ulama’ ke dalam tarekkat mengakibatkan timbulnya “neosufisme”.
Peran ulama Melayu-Indonesia dalam transmisi kandungan intelektual jaringan    ulama itu ke Nusantara  
       Para ulama melayu Indonesia yang menjalin hubungan erat dengan tokoh tokoh penting dalam jaringan ulama haramayn pada abad ke-18 memainkan peranan bukan hanya mempertahankan momentum pembaharuan di Nusantara (yang sebelumnya di rintis oleh ulama seperti ArRaniri,Al Sinkili dan Al MAqassari) tetapi lebih penting meneruskan bendera pembaharuan kepada generasi ulama Melayu-Indonesia sesudahnya (P.335-339)
     Dampak lebih jauh dari jaringan ulama terhadap perjalanan Islam di Nusantara
    Pada tahun tahun terakhir abad ke -18 tanda tanda yang lebih jelas dari  pembaruan keagamaan muncul di kalangan masyarakat minangkabau. Misalnya diantara surau surau Syathariyahada usaha sadar untuk menghidupkan kembali ajaran ajaran Al sinkili terutama menyangkut pentingnya  syariat dalam praktik tasawuf( P.367)11
 5.   Kontribusi peneliti
Penelitian ini memiliki beberapa kontribusi riil bagi pengembangan keilmuan Islam. Diantaranya adalah;
Pertama, tertolaknya suatu asumsi yang mengatakan bahwa hubungan antara Ulama di Timur Tengah dengan para Ulama di Nusantra, hanyalah bersifat politis. Hal ini dikarenakan, semenjak abad ke-17, terutama diparuh kedua abad ini, hubungan diantara mereka lebih menekankan pada aspek sosial-intelektual (keilmuan). (P. 58).
Kedua, tertolaknya suatu asumsi yang mengatakan bahwa abad ke-17 dan 18 adalah abad kegelapan bagi umat Islam. Karena pada kenyataannya di abad ini justru merupakan masa yang sangat harmonis dan dinamis, bagi perkembangan pemikiran serta keilmuan Islam.
Ketiga, adanya peranan serta keterlibatan ulama-ulama melayu dalam jaringan ulama Internasional, yang pada taraf selanjutnya mampu melakukan upaya transmisi keilmuan dan pemikiran ke wilayah Nusantara, untuk melakukan langkah pembaharuan.




DAFTAR PUSTAKA
-          Amin, M. Masyhur, Sejarah peradaban Islam ( Bandung :Indonesia Spirit Fondation 2004)
-          Amin,Samsul Munir ,Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta:Amzah,2010).
-         Azra,Azyumardi, Islam Nusantara:Jaringan Global dan Lokal (Bandung : Mizan,2002).
-          Daftari, Farhad(Ed),Tradisi Intelektual Islam, (Jakarta:Annemarie) 2004
-          Daya, Burhanuddin, Gerakan Pemikiran Pembaharuan islam; kasus Sumatra tawalib, (Yogyakarta: tiara kencana, 1995)
-          Fathurrahman, Oman,Tanbih Al Masyi menyoal wahdatul Wujud;kasus abdurrauf singkel di Aceh abad-17( Bandung:  Mizan,1999)
-           Nata Abuddin,Metodologi Studi Islam, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada) 1998,Edisi revisi
-          Rizal Sukma & Clara joewono,Gerakan Pemikiran Islam Indonesia kontemporer, (Yogyakarta:Kanisius, 2007)
-          Yusuf, Mundzirin,dkk, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka,2006).
dan berbagai sumber dari internet


[1] Lihat juga Nata Abuddin,Metodologi Studi Islam, (Jakarta :PT Raja Grafindo Persada ,1998,Edisi revisi)
[2] Fathurrahman, Oman,Tanbih Al Masyi menyoal wahdatul Wujud;kasus abdurrauf singkel di Aceh abad-17, (Bandung : Mizan, 1999), hal.75
3.ibid, hal.75
4 Rizal Sukma & Clara joewono,Gerakan Pemikiran Islam Indonesia kontemporer, (Yogyakarta :Kanisius, 2007), hal.248
5 ibid,hal.248
6 ibid hal.250
7fathurrahman, Oman,ibid hal.78
8Rizal sukma & Clara Juwono (Ed),Ibid hal.250
9ibid hal.250
10 Daftari, Farhad(Ed),Tradisi Intelektual Islam,( Jakarta :Annemarie ,2004)
11 Daya, Burhanuddin, Gerakan Pemikiran Pembaharuan islam; kasus Sumatra tawalib (Yogyakarta:tiara kencana 1995), hal.50
Amin, M. Masyhur, Sejarah peradaban Islam, (Bandung: Indonesia Spirit Fondation, 2004), hal.319
13ibid, hal. 50